Rabu, 08 Januari 2014

Tiga Episode Prom Night..

Satu Kata Saja
Katanya cewek pendiam jangan sampai suka sama cowo pendiam juga, karena cuma bikin dunia makin sunyi.
Perumpamaan itu cocok banget buat aku dan Sultan, yang menurut orang lain kita itu pasangan tersunyi di dunia. Bahkan saking cocoknya, atmosfir hening  di antara kami berdua yang saat ini berada di ruangan megah hotel berbintang yang di sulap jadi party spot yang meriahnya sangant mendominasi, mengalahkan suasana prom yang hingar bingar.
Tapi begitulah kami, berdiri berhadapan tanpa satu kata terucap. Ajeng dan Fahrani bilang, Sultan menyukaiku sejak kelas 1 SMA, sejak masa orientasiku mengikuti Paskibra pertama kalinya di sekolah. Tepatnya sejak kejadian aku pingsan karena kepanasan dipanggang di bawah terik matahari karena paginya aku tidak sarapan.
Dan bagian yang paling memalukan adalah ketika aku jatuh menimpa Sultan! Oh ya, belom selesai sampai situ! Bahkan aku muntah di atas bajunya! Hebat kan?
Genta dan Bagus yang satu klub karate bareng Sultan bilang bahwa akhirnya ada juga cewek yang bisa bikin si pendiam buka mulut, karena Sultan bukannya menolongku malah memarahiku yang mengotori baju seragam latihannya yang serba putih.
Dan lucunya pada saat itu pula, semua orang yakin kalau Sultan telah menemukan belahan jiwanya, yaitu aku! Eww.. apa tidak ada cara lain yang lebih romantis?
Setelah kejadian itu, aku dan Sultan memang jadi pasangan platonis tanpa ada kata cinta yang terucap. Jangankan kata cinta, Sultan bahkan tidak pernah mengucapkan apapun yang ‘menyerempet’ hubungan spesial kami. Dan lama-lama hal ini sangat mengganguku, sampai di malam prom ini. Malam terklimaks dari seluruh kejadian sedih-senangnya masa SMA.
Harusnya aku bisa menanyakan hal ini lebih dulu ke Sultan ke mana arah hubungan kita, daripada mati penasaran. Mulai bulan depan, aku akan menetap di Inggris untuk berkuliah di King’s College atas tanggungan beasiswa dari sebuah yayasan pendidikan.
Satu-satunya kata yang keluar dari mulut Sultan ketika mendengar berita ini: “Congratulation.”
Tuh kan! Sudah kuduga hanya kata congratulation. Benar-benar pelit kata-kata.
Sejak awal masuk sekolah, Sultan memang berbeda. Ketenangannya terlalu ‘mengganggu’ bagi kami, anak-anak SMA yang cenderung pecicilan. Katanya ia begitu karena terbiasa hidup sendiri sejak SD di boarding school di Jerman.
Aku juga begitu pendiam dan tertutup, tapi aku berusaha keras untuk lebih open up sedangkan Sultan tidak. Ia merasa nyaman dengan sikapnya tersebut. Apalagi hal itu dirasanya tidak merugikan orang lain. Menurutnya, mengapa orang lain dan termasuk aku juga harus terganggu karenanya?
“Aku ingin kita lebih bisa berkomunikasi, Sultan!” aku menelan ludah sekali, “...layaknya orang pacaran.”
Rasanya aku mau tenggelam saja setelah mengucapkan itu. Apakah sebenarnya kita berpacaran? Mendadak aku ragu akan fakta yang terdengar asing itu.
“Kita pacaran, Sabrina.” Sultan memberi pernyataan jelas. Wow, benar-benar sebuah kemajuan yang signifikan.
Tapi tetap saja pada malam prom ini, walaupun lagu slow sudah lama mengalun, aku masih tidak yakin untuk menerima uluran tanggannya. Akankah ini menjadi akhir dari kita? Akankah kita berubah menjadi lebih terbuka setelah ini? Akankah Sultan merasa kangen dan kehilangan? Bahkan yang lebih dramatis, akankah Sultan menahan kepergianku?
Aku ingin mendengar kata indah itu sekali saja. Satu kata saja. Sesimpel “Tinggallah” atau mungkin “Jangan.”
Tapi kata itu tidak kunjung terucap, dan aku mulai kehilangan kesabaran. Dengan gerakan menghentak, aku melangkah pergi dari hadapan Sultan tidak mempedulikan beberapa pasang mata yang memandangi kami, juga tangan kanan Sultan yang sejak tadi terjulur tak bersambut.
Tapi sultan mengikutiku ke balkon walau dengan langkah tidak tergesah-gesah, seperti biasa dengan sikap ngambekku. Setidaknya kaki Sultan masih lebih reaktif daripada mulutnya yang selalu terkunci.
“Spoiled Sabrina! Childish Sabrina!” aku berbisik pada diri sendiri. Dan ketika Sultan mendekat, aku langsung membentaknya.
“Sebentar lagi aku akan pergi, lantas mau di bawa kemana hubungan ini?!”
Sultan diam. Manik matanya yang dingin, dalam dan teduh, sesaat membuatku tidak tega bersikap keras. Tapi kembali lagi, di balik eksterior yang tenang itu, Sultan adalah pribadi yang kuat dan tegas.
“Bicara dong, Sultan!” aku merengek.
Dan Sultan tetap diam
Dan ketika aku beranjak pergi lagi, aku dihentikan oleh satu kata “Pergi!”.
Kedua mataku melotot. Bukan ini yang ingin ku dengar...
I’m a cruel person to hold you back from pursuing your dreams,” Sultan berkata lagi “ Mungkin aku akan main-main ke sana, London. Markasnya Chelsea.” Walau samar, aku melihatnya tersenyum kecil. Cowok ini memang penggila tim sepakbola berkostum biru itu.
“Kalau nanti sudah jadi angkuntan yang handal, bekerjalah padaku. Perusahaan butuh seorang seperti kamu, Sab.”
Entah mau marah atau menangis bahagia, tapi aku sangat terkejut atas celotehan Sultan tadi. Aku hanya minta satu kata, tapi nyatanya Sultan memberinya lebih dan lebih banyak dukungan yang unselfish terhadap masa depanku.

Hari Ini, Esok dan Lusa
Dita mendengus melihat pemandangan didepannya. Lagi-lagi Melati berlaga lemah di depan Austin. Tidak bisa kah akting itu berhenti sekali saja? Setidaknya di malam prom ini.
Vladimir Soi – Vlad berjalan ke sisi Dita, membawakannya segelas fruit punch.
“Mereka benar-benar enggak terpisahkan.”  Suara Vlad terdengar mulai putus asa.
Tapi Dita tidak, “Apa istimewanya Melati, selain jago bikin kue pasar?” Pernyataan itu berkali-kali muncul di benak Dita dan sampai saat ini masih belum terjawab. Di sekolahnya banyak cewek yang lebih cantik dan stylish dari Melati, Dita salah satunya.
Dita selalu memakai lip blam agar bibirnya berkilau. Bibir Melati selalu kering dan pecah-pecah. Dita adalah atlet tenis utama di sekolah, sedangkan Melati tidak pernah tidak pingsan saat pelajaran olah raga atau sekarang jamannya cowok kembali menyukai cewek lemah?
Vlad, orang yang Dita kenal sebagai sahabat Austin kini nampaknya juga harus mau ‘mengalah’ dengan kehadiran Melati. Benar-benar hebat dan menyebalkan pengaruh Melati terhadap mereka semua. Bukan Dita saja yang terganggu, Vladimir juga. Vlad dan Austin sudah saling kenal sejak TK, karena orang tua mereka memiliki hubungan bisnis. Dan sepertinya, kini mereka terpisahkan karena masalah klise yaitu ‘cewek’.
“kemarin bahkan Austin membatalkan latihan basket secara sepihak karena mendadak harus mengantar Melati entah ke mana. Kemarin dulu lagi, Austin melakukan hal bodoh yaitu turun ke dapur membantu Melati mengadon kue. Konyol sekali!” gerutu Vlad sambil terus memandangi Dita yang baginya terlihat cantik dan anggun dengan gaun prom panjang berwarna pastel. Dita merasa aneh dengan tatapan itu, namun berusaha bersikap biasa.
“Hari gini buat kue jajanan pasar. Kayak tinggal di desa saja. It’s twenty first century!” Vlad teringan pengalaman lainnya dicuekin Austin, yaitu ketika ia mengajak Austin menjadi mentor tambahan untuk melatih tehnik serve anak kelas 1 dan dimentahkan begitu saja hanya karena lagi-lagi Austin ingin bersama Melati.
Dita bukan orang jahat, ia yakin dirinya begitu. Menurutnya, kelakuan Melati memicu Dita jadi begini. Jadi salahkan saja Melati yang memonopoli Austin seperti tidak ada hari esok!
“Sudahlah! Gue menyerah. Mungkin mereka memang enggak terpisahkan.” Vlad tertawa kecil. “Siapa bilang soulmate baru bisa ketemu pas kita sudah dewasa? Mungkin Austin dan Melati menemukan itu lebih cepat dari kita-kita.”
Dita melotot mendapati Vlad sudah tidak berdiri di kubunya. “Gimana kalau lo berhenti bersikap sok empati!”
“Gimana kalau kita berdansa saja?”
Dita makin melotot, namun dibarengi dengan mulutnya yang terbuka kaget. Sembarangan banget cowok keturunan Rusia-Indonesia ini mengajaknya berdansa. Bukankah dansa prom night identik dengan dansa kekasih? Bukan sekedar teman dekat, seperti yang ia miliki bersama Vlad?
Rasanya cukup tempting untuk menyambut tangan Vlad. Tapi Dita masih tidak mengerti, inikah buah curhatnya kepada Vlad selama 10 hari belakangan? Curhat yang isinya menjelek-jelekan Melati semata. Curhat yang secara implisit mengajak Vlad membenci Melati, bahkan juga Austin. Dan untuk kedua hal itu, semua berjalan mulus sesuai keinginan Dita.
Namun, apa yang tersisa? Hanya kehampaan yang menghimpit. Menjadi orang jahat sama sekali bukan cita-citanya. Ketika prom night sudah di depan mata, Dita bahkan tidak dapat menikmatinya dengan sepenuh hati. Padahal, sejak dulu ia ingin bisa dinobatkan menjadi Prom Queen bersama Austin sebagai Prom King-nya.
Dan semua malah bertambah parah ketika Dita menyadari bahwa Melati dan Austin tidak pernah sama sekali berbuat jahat kepadanya. Ketika melirik ke balkon, ia melihat Sultan memeluk Sabrina di hari perpisahan mereka. “Mungkin aku juga ingin punya sesorang untuk di peluk.” Pikirnya.
Dita memang sedang tidak punya pacar, Vlad juga. Tidak seperti Sultan-Sabrin, Fahrani-Dana, atau Ajeng-Omar. Walaupun ia cukup PD datang ke prom night seorang diri, kehadiran Vlad selama ini bisa di bilang menggantikan posisi pacar baginya. Dita jadi tidak merasa sepenuhnya kesepian.
Walau selama ini hanya diisi dengan sparring tenis di akhir minggu atau obrolan santai sambil minum kopi bareng dan ngedumel soal Melati dan Austin, tapi Vlad selalu ada untuknya. Lantas, semua itu untuk apa? Jangan-jangan, Vlad telah ‘merencanakan’ sesuatu lebih awal dari saat dirinya menyukai Austin.
Ketika menerima tangan itu, Dita merasakan sesuatu berpindah, perasaan Vlad yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Ada rasa marah, ketulusan, bahkan mungkin sedikit cinta.
Melihat Dita tenggelam dalam pikiran-pikirannya sendiri, Vlad meneruskan, “Gimana kalau mulai hari ini dan seterusnya kita membicarakan topik lain? Kita.”
Namun Dita tidak sempat berlama-lama blushing. Lantai dansa prom berubah gaduh ketika tiba-tiba Melati terjatuh menimpa pasangan dansanya yang tak lain adalah Austin. Kali ini, tidak tercetus sedikit pun ejekan dari mulut Dita. Ia justru penasaran, kenapa sih frekuensi jatuh Melati semakin lama semakin sering?

Putu Mayang
Hmm.. Wangi tubuh Austin memang tetap wangi walaupun lagi keringatan begini. Aromanya seperti campuran musk, cendana dan vanila jadi satu. Seperti harum kue yang baru keluar dari oven.
“Mungkin karena mereka seorang vegetarian.” pikir Melati. “Seperti Ayah dan Mas Gading.”
Melati baru saja berpapasan dengan Austin. Anak-anak cowok lain sperti Vlad, Genta, Omar dan Sultan tidak pernah sewangi ini. Bau mereka tipikal bau matahari.
Melati kenal Austin sejak masuk SMA. Tenang, perfeksionis, dan tipikal olah ragawan sejati yang humble. Mungkin karena menyandang nama keluarganya sudah menjadi beban tersendiri, ia jadi alergi publikasi yang berlebihan.
Dikantin, anak-anak yang sudah berganti pakaian seragam, langsung menyerbu makanan yang dijajakan. Dalam sekejap mata, mie bakso, siomay, sampai kue kecil langsung di sikat bersamaan dengan Austin yang baru tiba di situ. Ia melengos kesal karena keabisan.
“Mau?” sebagai teman sekelas yang baik Melati menawarkan bekalnya.
“Iih, makanan kampung!” Terdengar Dita nyeletuk diikuti tawa cekikikan dari Fahrani dan Tessa.
“Putu mayang kan makanan asli Indonesia.” Melati membela diri.
“Iya, makanya cocok dibilang jajanan kampung.” Fahrani membalas. Ia lalu berpaling ke Austin. “Engga liat apa Austin tuh setengah Meksiko, kalau mau kasih ya nacho atau burrito dong!”
“Gue juga orang Indonesia.” Austin menggambil wadah bekal Melati seluruhnya.
“H-Hei...!” Tentu saja Melati bengong. Ia memang akan membagi 1 atau 2 buah putu mayangnya tapi bukan satu kotak.
Austin berbalik badan. “Ini enggak ada dagingnya kan?”
Melati refleks menggeleng. “Eng-eng-nggak. Bahan pembuatnya Cuma tepung beras dan kuah santan.”
Austin tersenyum, “Ok. Thanks yaa.”
Dan siapa sangka setelah ‘kejadian putu mayang’ itu, malamnya Austin menelepon Melati menanyakan di mana ia membeli kue seenak itu. Ketika Melati bilang bahwa kue tradisional itu bikinannya sendiri, Austin semakin antusias mengobrol. Jadilah mereka mengobrol selama hampir satu jam. Sebuah rekor bagi Melati karena sebelumnya tidak pernah mengobrol di telepon sama cowok selama itu.
Setelah seminggu berkomunikasi secara akrab, Melati akhirnya memberanikan membuka diri apa adanya. Menceritakan pada Austin bahwa ia menderita kanker otak. Mulai minggu depan, ia akan menjalani kemoterapi yang pertama. Ia menantang, apakah ini membuat Austin takut?
“Tidak.” Austin menjawab lugas.untung pembicaraan ini lewat telepon, jadi Melati tidak perlu melihat ekspresi wajahnya yang sangat terkejut.
Melati sengaja mengumbar fakta itu. Masa SMA akan segera ditutup dengan pesta prom night. Kalau Austin ingin memilih cewek lain untuk dijadikan pasangan, inilah saatnya. Melati mengerti dan ia tidak ingin di kasihani karena penyakitnya.
Tapi kenyataan yang menunggunya keesokan hari, membuat Melati gantian terkejut. Austin tidak mundur. Cowok itu bahkan menantang Melati untuk membuat jajanan pasar bersama. Ia merasa percaya diri dengan pengetahuannya yang cukup luas akan berbagai jenis rempah-rempahan dalam masakan Indonesia. Hidup di keluarga yang di aliri darah dari dua kultur yang hampir serupa, membuat Austin tidak asing dengan hal-hal seperti itu. Apalagi dalam masakan Indonesia atau Meksiko, sama-sama tidak seru kalau menyantap makanan tanpa bumbu pedas.
“Pergi ke prom sama gue yaa, Melati?” bisik Austin sambil memasangkan apron Melati.
Melati akhirnya berhenti berfikiran negatif. Mungkin Austin benar-benar menyukai dirinya, bukan karena kasihan melihatnya yang daya tahan tubuhnya mulai merosot hingga semakin mudah pingsan.
Dan ketika dansa prom dimulai, Melati jatuh terkulai. Tak kuasa mengontrol keseimbangan tubuh dan kesadaran diri yang semakin redup. Hanya semangatnya yang tidak redup, ia ingin menyelesaiakan dansanya bersama pangerannya, dansa yang mungkin menjadi dansa terakhirnya.
“Melati...”
Sebuah suara dan tangan perempuan tiba-tiba hadir di dekatnya. Melati mengangkat kepala dan menemukan Dita yang biasa mengejeknya, membantunya berdiri.
“Austin menunggu.” Dita berkata. Melati menoleh. Didepannya, Austin nampak begitu binggung dan ganteng. “Terima Kasih, Dita.”Austin bangkit dan mendekati Melati, membantu mengagkat tubuhnya. Tanpa rasa malu, cowok itu membungkukan tubuhnya dengan gaya yang santun.
Shall we continue the dance, Ma’am?”
Austin akan tunjukan kepada dunia betapa charming dirinya untuk Melati seorang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar