Satu
Kata Saja
Katanya
cewek pendiam jangan sampai suka sama cowo pendiam juga, karena cuma bikin
dunia makin sunyi.
Perumpamaan
itu cocok banget buat aku dan Sultan, yang menurut orang lain kita itu pasangan
tersunyi di dunia. Bahkan saking cocoknya, atmosfir hening di antara kami berdua yang saat ini berada di
ruangan megah hotel berbintang yang di sulap jadi party spot yang meriahnya sangant mendominasi, mengalahkan suasana prom yang hingar bingar.
Tapi
begitulah kami, berdiri berhadapan tanpa satu kata terucap. Ajeng dan Fahrani
bilang, Sultan menyukaiku sejak kelas 1 SMA, sejak masa orientasiku mengikuti
Paskibra pertama kalinya di sekolah. Tepatnya sejak kejadian aku pingsan karena
kepanasan dipanggang di bawah terik matahari karena paginya aku tidak sarapan.
Dan
bagian yang paling memalukan adalah ketika aku jatuh menimpa Sultan! Oh ya,
belom selesai sampai situ! Bahkan aku muntah di atas bajunya! Hebat kan?
Genta
dan Bagus yang satu klub karate bareng Sultan bilang bahwa akhirnya ada juga
cewek yang bisa bikin si pendiam buka mulut, karena Sultan bukannya menolongku
malah memarahiku yang mengotori baju seragam latihannya yang serba putih.
Dan
lucunya pada saat itu pula, semua orang yakin kalau Sultan telah menemukan
belahan jiwanya, yaitu aku! Eww.. apa
tidak ada cara lain yang lebih romantis?
Setelah
kejadian itu, aku dan Sultan memang jadi pasangan platonis tanpa ada kata cinta
yang terucap. Jangankan kata cinta, Sultan bahkan tidak pernah mengucapkan apapun
yang ‘menyerempet’ hubungan spesial kami. Dan lama-lama hal ini sangat
mengganguku, sampai di malam prom
ini. Malam terklimaks dari seluruh kejadian sedih-senangnya masa SMA.
Harusnya
aku bisa menanyakan hal ini lebih dulu ke Sultan ke mana arah hubungan kita,
daripada mati penasaran. Mulai bulan depan, aku akan menetap di Inggris untuk
berkuliah di King’s College atas tanggungan beasiswa dari sebuah yayasan
pendidikan.
Satu-satunya
kata yang keluar dari mulut Sultan ketika mendengar berita ini: “Congratulation.”
Tuh
kan! Sudah kuduga hanya kata congratulation.
Benar-benar pelit kata-kata.
Sejak
awal masuk sekolah, Sultan memang berbeda. Ketenangannya terlalu ‘mengganggu’
bagi kami, anak-anak SMA yang cenderung pecicilan. Katanya ia begitu karena
terbiasa hidup sendiri sejak SD di boarding
school di Jerman.
Aku
juga begitu pendiam dan tertutup, tapi aku berusaha keras untuk lebih open up sedangkan Sultan tidak. Ia
merasa nyaman dengan sikapnya tersebut. Apalagi hal itu dirasanya tidak
merugikan orang lain. Menurutnya, mengapa orang lain dan termasuk aku juga
harus terganggu karenanya?
“Aku
ingin kita lebih bisa berkomunikasi, Sultan!” aku menelan ludah sekali,
“...layaknya orang pacaran.”
Rasanya
aku mau tenggelam saja setelah mengucapkan itu. Apakah sebenarnya kita
berpacaran? Mendadak aku ragu akan fakta yang terdengar asing itu.
“Kita
pacaran, Sabrina.” Sultan memberi pernyataan jelas. Wow, benar-benar sebuah
kemajuan yang signifikan.
Tapi
tetap saja pada malam prom ini,
walaupun lagu slow sudah lama
mengalun, aku masih tidak yakin untuk menerima uluran tanggannya. Akankah ini
menjadi akhir dari kita? Akankah kita berubah menjadi lebih terbuka setelah
ini? Akankah Sultan merasa kangen dan kehilangan? Bahkan yang lebih dramatis,
akankah Sultan menahan kepergianku?
Aku
ingin mendengar kata indah itu sekali saja. Satu kata saja. Sesimpel
“Tinggallah” atau mungkin “Jangan.”
Tapi
kata itu tidak kunjung terucap, dan aku mulai kehilangan kesabaran. Dengan
gerakan menghentak, aku melangkah pergi dari hadapan Sultan tidak mempedulikan
beberapa pasang mata yang memandangi kami, juga tangan kanan Sultan yang sejak
tadi terjulur tak bersambut.
Tapi
sultan mengikutiku ke balkon walau dengan langkah tidak tergesah-gesah, seperti
biasa dengan sikap ngambekku. Setidaknya kaki Sultan masih lebih reaktif
daripada mulutnya yang selalu terkunci.
“Spoiled
Sabrina! Childish Sabrina!” aku berbisik pada diri sendiri. Dan ketika Sultan
mendekat, aku langsung membentaknya.
“Sebentar
lagi aku akan pergi, lantas mau di bawa kemana hubungan ini?!”
Sultan
diam. Manik matanya yang dingin, dalam dan teduh, sesaat membuatku tidak tega
bersikap keras. Tapi kembali lagi, di balik eksterior yang tenang itu, Sultan
adalah pribadi yang kuat dan tegas.
“Bicara
dong, Sultan!” aku merengek.
Dan
Sultan tetap diam
Dan
ketika aku beranjak pergi lagi, aku dihentikan oleh satu kata “Pergi!”.
Kedua
mataku melotot. Bukan ini yang ingin ku dengar...
“I’m a cruel person to hold you back from
pursuing your dreams,” Sultan berkata lagi “ Mungkin aku akan main-main ke
sana, London. Markasnya Chelsea.” Walau samar, aku melihatnya tersenyum kecil.
Cowok ini memang penggila tim sepakbola berkostum biru itu.
“Kalau
nanti sudah jadi angkuntan yang handal, bekerjalah padaku. Perusahaan butuh
seorang seperti kamu, Sab.”
Entah
mau marah atau menangis bahagia, tapi aku sangat terkejut atas celotehan Sultan
tadi. Aku hanya minta satu kata, tapi nyatanya Sultan memberinya lebih dan
lebih banyak dukungan yang unselfish
terhadap masa depanku.
Hari
Ini, Esok dan Lusa
Dita
mendengus melihat pemandangan didepannya. Lagi-lagi Melati berlaga lemah di
depan Austin. Tidak bisa kah akting itu berhenti sekali saja? Setidaknya di
malam prom ini.
Vladimir
Soi – Vlad berjalan ke sisi Dita, membawakannya segelas fruit punch.
“Mereka
benar-benar enggak terpisahkan.” Suara
Vlad terdengar mulai putus asa.
Tapi
Dita tidak, “Apa istimewanya Melati, selain jago bikin kue pasar?” Pernyataan
itu berkali-kali muncul di benak Dita dan sampai saat ini masih belum terjawab.
Di sekolahnya banyak cewek yang lebih cantik dan stylish dari Melati, Dita salah satunya.
Dita
selalu memakai lip blam agar bibirnya berkilau. Bibir Melati selalu kering dan
pecah-pecah. Dita adalah atlet tenis utama di sekolah,
sedangkan Melati tidak pernah tidak pingsan saat pelajaran olah raga atau
sekarang jamannya cowok kembali menyukai cewek lemah?
Vlad,
orang yang Dita kenal sebagai sahabat Austin kini nampaknya juga harus mau
‘mengalah’ dengan kehadiran Melati. Benar-benar hebat dan menyebalkan pengaruh
Melati terhadap mereka semua. Bukan Dita saja yang terganggu, Vladimir juga.
Vlad dan Austin sudah saling kenal sejak TK, karena orang tua mereka memiliki
hubungan bisnis. Dan sepertinya, kini mereka terpisahkan karena masalah klise
yaitu ‘cewek’.
“kemarin
bahkan Austin membatalkan latihan basket secara sepihak karena mendadak harus
mengantar Melati entah ke mana. Kemarin dulu lagi, Austin melakukan hal bodoh
yaitu turun ke dapur membantu Melati mengadon kue. Konyol sekali!” gerutu Vlad
sambil terus memandangi Dita yang baginya terlihat cantik dan anggun dengan
gaun prom panjang berwarna pastel.
Dita merasa aneh dengan tatapan itu, namun berusaha bersikap biasa.
“Hari
gini buat kue jajanan pasar. Kayak tinggal di desa saja. It’s twenty first
century!” Vlad teringan pengalaman lainnya dicuekin Austin, yaitu ketika ia
mengajak Austin menjadi mentor tambahan untuk melatih tehnik serve anak kelas 1 dan dimentahkan
begitu saja hanya karena lagi-lagi Austin ingin bersama Melati.
Dita
bukan orang jahat, ia yakin dirinya begitu. Menurutnya, kelakuan Melati memicu
Dita jadi begini. Jadi salahkan saja Melati yang memonopoli Austin seperti
tidak ada hari esok!
“Sudahlah!
Gue menyerah. Mungkin mereka memang enggak terpisahkan.” Vlad tertawa kecil.
“Siapa bilang soulmate baru bisa
ketemu pas kita sudah dewasa? Mungkin Austin dan Melati menemukan itu lebih
cepat dari kita-kita.”
Dita
melotot mendapati Vlad sudah tidak berdiri di kubunya. “Gimana kalau lo
berhenti bersikap sok empati!”
“Gimana
kalau kita berdansa saja?”
Dita
makin melotot, namun dibarengi dengan mulutnya yang terbuka kaget. Sembarangan
banget cowok keturunan Rusia-Indonesia ini mengajaknya berdansa. Bukankah dansa
prom night identik dengan dansa
kekasih? Bukan sekedar teman dekat, seperti yang ia miliki bersama Vlad?
Rasanya
cukup tempting untuk menyambut tangan
Vlad. Tapi Dita masih tidak mengerti, inikah buah curhatnya kepada Vlad selama
10 hari belakangan? Curhat yang isinya menjelek-jelekan Melati semata. Curhat
yang secara implisit mengajak Vlad membenci Melati, bahkan juga Austin. Dan
untuk kedua hal itu, semua berjalan mulus sesuai keinginan Dita.
Namun,
apa yang tersisa? Hanya kehampaan yang menghimpit. Menjadi orang jahat sama
sekali bukan cita-citanya. Ketika prom
night sudah di depan mata, Dita bahkan tidak dapat menikmatinya dengan
sepenuh hati. Padahal, sejak dulu ia ingin bisa dinobatkan menjadi Prom Queen bersama Austin sebagai Prom King-nya.
Dan
semua malah bertambah parah ketika Dita menyadari bahwa Melati dan Austin tidak
pernah sama sekali berbuat jahat kepadanya. Ketika melirik ke balkon, ia
melihat Sultan memeluk Sabrina di hari perpisahan mereka. “Mungkin aku juga
ingin punya sesorang untuk di peluk.” Pikirnya.
Dita
memang sedang tidak punya pacar, Vlad juga. Tidak seperti Sultan-Sabrin,
Fahrani-Dana, atau Ajeng-Omar. Walaupun ia cukup PD datang ke prom night seorang diri, kehadiran Vlad
selama ini bisa di bilang menggantikan posisi pacar baginya. Dita jadi tidak
merasa sepenuhnya kesepian.
Walau
selama ini hanya diisi dengan sparring
tenis di akhir minggu atau obrolan santai sambil minum kopi bareng dan ngedumel
soal Melati dan Austin, tapi Vlad selalu ada untuknya. Lantas, semua itu untuk
apa? Jangan-jangan, Vlad telah ‘merencanakan’ sesuatu lebih awal dari saat
dirinya menyukai Austin.
Ketika
menerima tangan itu, Dita merasakan sesuatu berpindah, perasaan Vlad yang tidak
bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Ada rasa marah, ketulusan, bahkan mungkin
sedikit cinta.
Melihat
Dita tenggelam dalam pikiran-pikirannya sendiri, Vlad meneruskan, “Gimana kalau
mulai hari ini dan seterusnya kita membicarakan topik lain? Kita.”
Namun
Dita tidak sempat berlama-lama blushing. Lantai dansa prom berubah gaduh ketika tiba-tiba Melati terjatuh menimpa
pasangan dansanya yang tak lain adalah Austin. Kali ini, tidak tercetus sedikit
pun ejekan dari mulut Dita. Ia justru penasaran, kenapa sih frekuensi jatuh
Melati semakin lama semakin sering?
Putu
Mayang
Hmm..
Wangi tubuh Austin memang tetap wangi walaupun lagi keringatan begini. Aromanya
seperti campuran musk, cendana dan vanila jadi satu. Seperti harum kue yang
baru keluar dari oven.
“Mungkin
karena mereka seorang vegetarian.” pikir Melati. “Seperti Ayah dan Mas Gading.”
Melati
baru saja berpapasan dengan Austin. Anak-anak cowok lain sperti Vlad, Genta,
Omar dan Sultan tidak pernah sewangi ini. Bau mereka tipikal bau matahari.
Melati
kenal Austin sejak masuk SMA. Tenang, perfeksionis, dan tipikal olah ragawan
sejati yang humble. Mungkin karena
menyandang nama keluarganya sudah menjadi beban tersendiri, ia jadi alergi
publikasi yang berlebihan.
Dikantin,
anak-anak yang sudah berganti pakaian seragam, langsung menyerbu makanan yang
dijajakan. Dalam sekejap mata, mie bakso, siomay, sampai kue kecil langsung di
sikat bersamaan dengan Austin yang baru tiba di situ. Ia melengos kesal karena
keabisan.
“Mau?”
sebagai teman sekelas yang baik Melati menawarkan bekalnya.
“Iih,
makanan kampung!” Terdengar Dita nyeletuk diikuti tawa cekikikan dari Fahrani
dan Tessa.
“Putu
mayang kan makanan asli Indonesia.” Melati membela diri.
“Iya,
makanya cocok dibilang jajanan kampung.” Fahrani membalas. Ia lalu berpaling ke
Austin. “Engga liat apa Austin tuh setengah Meksiko, kalau mau kasih ya nacho atau burrito dong!”
“Gue
juga orang Indonesia.” Austin menggambil wadah bekal Melati seluruhnya.
“H-Hei...!”
Tentu saja Melati bengong. Ia memang akan membagi 1 atau 2 buah putu mayangnya
tapi bukan satu kotak.
Austin
berbalik badan. “Ini enggak ada dagingnya kan?”
Melati
refleks menggeleng. “Eng-eng-nggak. Bahan pembuatnya Cuma tepung beras dan kuah
santan.”
Austin
tersenyum, “Ok. Thanks yaa.”
Dan siapa
sangka setelah ‘kejadian putu mayang’ itu, malamnya Austin menelepon Melati
menanyakan di mana ia membeli kue seenak itu. Ketika Melati bilang bahwa kue
tradisional itu bikinannya sendiri, Austin semakin antusias mengobrol. Jadilah mereka
mengobrol selama hampir satu jam. Sebuah rekor bagi Melati karena sebelumnya
tidak pernah mengobrol di telepon sama cowok selama itu.
Setelah
seminggu berkomunikasi secara akrab, Melati akhirnya memberanikan membuka diri
apa adanya. Menceritakan pada Austin bahwa ia menderita kanker otak. Mulai minggu
depan, ia akan menjalani kemoterapi yang pertama. Ia menantang, apakah ini
membuat Austin takut?
“Tidak.”
Austin menjawab lugas.untung pembicaraan ini lewat telepon, jadi Melati tidak
perlu melihat ekspresi wajahnya yang sangat terkejut.
Melati
sengaja mengumbar fakta itu. Masa SMA akan segera ditutup dengan pesta prom night. Kalau Austin ingin memilih
cewek lain untuk dijadikan pasangan, inilah saatnya. Melati mengerti dan ia
tidak ingin di kasihani karena penyakitnya.
Tapi kenyataan
yang menunggunya keesokan hari, membuat Melati gantian terkejut. Austin tidak
mundur. Cowok itu bahkan menantang Melati untuk membuat jajanan pasar bersama. Ia
merasa percaya diri dengan pengetahuannya yang cukup luas akan berbagai jenis
rempah-rempahan dalam masakan Indonesia. Hidup di keluarga yang di aliri darah
dari dua kultur yang hampir serupa, membuat Austin tidak asing dengan hal-hal
seperti itu. Apalagi dalam masakan Indonesia atau Meksiko, sama-sama tidak seru
kalau menyantap makanan tanpa bumbu pedas.
“Pergi
ke prom sama gue yaa, Melati?” bisik
Austin sambil memasangkan apron Melati.
Melati
akhirnya berhenti berfikiran negatif. Mungkin Austin benar-benar menyukai
dirinya, bukan karena kasihan melihatnya yang daya tahan tubuhnya mulai merosot
hingga semakin mudah pingsan.
Dan ketika
dansa prom dimulai, Melati jatuh
terkulai. Tak kuasa mengontrol keseimbangan tubuh dan kesadaran diri yang
semakin redup. Hanya semangatnya yang tidak redup, ia ingin menyelesaiakan
dansanya bersama pangerannya, dansa yang mungkin menjadi dansa terakhirnya.
“Melati...”
Sebuah
suara dan tangan perempuan tiba-tiba hadir di dekatnya. Melati mengangkat
kepala dan menemukan Dita yang biasa mengejeknya, membantunya berdiri.
“Austin
menunggu.” Dita berkata. Melati menoleh. Didepannya, Austin nampak begitu
binggung dan ganteng. “Terima Kasih, Dita.”Austin bangkit dan mendekati Melati,
membantu mengagkat tubuhnya. Tanpa rasa malu, cowok itu membungkukan tubuhnya
dengan gaya yang santun.
“Shall we continue the dance, Ma’am?”
Austin
akan tunjukan kepada dunia betapa charming
dirinya untuk Melati seorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar